HAKEKAT PENGUKURAN DAN PENILAIAN DALAM PENDIDIKAN

Setiap orang pada saat-saat tertentu harus membuat keputusan pendidikan, yaitu keputusan yang berkaitan dengan soal pendidikan, baik yang menyangkut diri sendiri ataupun orang lain. Keputusan-keputusan semacam ini dapat mempunyai ruang lingkup yang besar, seperti misalnya keputusan seorang Menteri Pendidikan dan kebudayaan tentang penerapan sistem baru dalam penyelenggaraan pendidikan, atau keputusan seorang Rektor tentang nilai batas lulus calon-calon mahasiswa, dapat pula mempunyai ruang lingkup yang kecil, seperti misalnya keputusan seorang ibu tentang perlu atau tidaknya mengharuskan anaknya belajar secara tetap setiap malam atau putusan seorang mahasiswa mengenai mata kuliah pilihan mana yang akan diambilnya pada suatu semefter.

Untuk dapat dicapainya keputusan yang baik diperlukan informasi yang lengkap dan tepat. Informasi semacam ini akan diperoleh melalui pengukuran dan penilaian pendidikan.

Pengumpulan, pengolahan, pengaturan dan penyajian informasi pendidikan melalui pengukuran dan perlilaian menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidikan. Dalam pelaksanaannya para pendidik dapat memanfaatkan jasa profesi lain, seperti jasa ahli pengukuran dan ahli komputer. Sebelum membahas lebih mendalam tentang hakekat pengukuran dan penilaian dalam pendidikan lebih baik kita membuat rumusan pembahasan dulu yaitu

  1. Apakah yang dimaksud dengan pengukuran dan penilaian dalam pendidikan?
  2. Bagaimanakah peranan pengukuran dan penilaian dalam pendidikan?

Kemudian mengetahui tujuannya yaitu

  1. mengetahui makna dari pengukuran dan penilaian dalam pendidikan
  2. Untuk mendapatkan informasi mengenai peranan pengukuran dan penilaian dalam pendidikan

Setelah mengetahui rumusan dan tujuanya maka selanjutnya masuk kebagian pembahasan Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Assesment.

Pengukuran (measurement)

Pengukuran dapat diartikan dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah membandingkan sesuatu dengan atau sesuatu yang lain (Anas Sudijono, 1996: 3) Jika kita mengukur suhu badan seseorang dengan termometer, atau mengukur jarak kota A dengan kota B, maka sesungguhnya yang sedang dilakukan adalah mengkuantifikasi keadaan seseorang atau tempat kedalam angka. Karenanya, dapat dipahami bahwa pengukuran itu bersifat kuantitatif.

Data lain juga menunjukkan bahwa pengukuran adalah besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran. Pengukuran tidak hanya terbatas pada kuantitas fisik, tetapi juga dapat diperluas untuk mengukur hampir semua benda yang bisa dibayangkan, seperti tingkat ketidakpastian, atau kepercayaan konsumen.

Pengukuran adalah proses pemberian angka-angka atau label kepada unit analisis untuk merepresentasikan atribut-atribut konsep. Proses ini seharusnya cukup dimengerti orang walau misalnya definisinya tidak dimengerti. Hal ini karena antara lain kita sering kali melakukan pengukuran.

Sedangkan dalam dunia pendidikan, yang dimaksud pengukuran sebagaimana disampaikan Cangelosi (1995: 21) adalah proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris. Proses pengumpulan ini dilakukan untuk menaksir apa yang telah diperoleh siswa setelah mengikuti pelajaran selama waktu tertentu. Proses ini dapat dilakukan dengan mengamati kinerja mereka, mendengarkan apa yang mereka katakan serta mengumpulkan informasi yang sesuai dengan tujuan melalui apa yang telah dilakukan siswa.

Menurut Mardapi (2004: 14) pengukuran pada dasarnya adalah kegiatan penentuan angka terhadap suatu obyek secara sistematis. Karakteristik yang terdapat dalam obyek yang diukur ditransfer menjadi bentuk angka sehingga lebih mudah untuk dinilai. aspek-aspek yang terdapat dalam diri manusia seperti kognitif, afektif dan psikomotor dirubah menjadi angka. Karenanya, kesalahan dalam mengangkakan aspek-aspek ini harus sekecil mungkin. Kesalahan yang mungkin muncul dalam melakukan pengukuran khususnya dibidang ilmu-ilmu sosial dapat berasal dari alat ukur, cara mengukur dan obyek yang diukur.
Dalam bidang pendidikan usaha pengukuran biasanya melalui penyelenggaraan tes atau ujian. Alat – alat lain seperti daftar cek, skala ukuran, dan lain – lain, dapat juga dipakai untuk mengukur aspek – aspek yang sukar dengan mempergunakan tes atau ujian, ddan usaha penilaian ini dapat dilakukan dengan mempergunakan patokan – patokan pembanding yang berbeda – beda.

Contoh: Seorang guru yang memberikan  soal Matematika, dan seorang murid bernama Budi hanya bisa menyelesaikan  5 dari 10 soal yang ada.

Penilaian

Penilaian merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan saat ini. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilihat dari nilai-nilai yang diperoleh siswa. Tentu saja untuk itu diperlukan sistem penilaian yang baik dan tidak bias. Sistem penilaian yang baik akan mampu memberikan gambaran tentang kualitas pembelajaran sehingga pada gilirannya akan mampu membantu guru merencanakan strategi pembelajaran. Bagi siswa sendiri, sistem penilaian yang baik akan mampu memberikan motivasi untuk selalu meningkatkan kemampuannya.
Menurut Jamaris (2010:323), penilaian atau evalution  merupakan kegiatan yang bersifat rumit karena penilaian berkaitan dengan value. Dalam melakukan penilalian secara langsung akan melibatkan kegiatan dalam mempertimbangkan tentang objek yang dinilai. Oleh sebab itu, penilaian memerlukan informasi tentang objek yang dinilai, tujuan melakukan penilaian, prosedur dan standar penilaian.

 Penilaian merupakan langkah lanjutan setelah dilakukan pengukuran. informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dideskripsikan dan ditafsirkan. Melalui penilaian kita dapat menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.

Contoh: Seorang guru yang mengambil thermometer yang meminta muridnya mengukur temperatur badannya Adan  ia membaca bahwa temperatur badannya menunjukkan angka 30 derajat celcius. Kita baru mengetahui apakah anak tersebut sehat atau tidak setelah kita mengetahui makna dari angka 30 derajat celcius tersebut. Apabila suhu badan 30 derajat celcius adalah suhu badan sehat maka dapat dinilai bahwa anak tersebut sehat.

Assesment

Assesment merupakan proses yang dilakukan dalam kegiatan sistematis dalam  rangka mengumpulkan informasi tentang sesuatu, misalnya tentang perkembangan anak dan kemajuan belajar yang dicapainya. Dalam kegiatan assesment terkandung kegiatan mengukur dan menilai.

Dan pengukuran, penilaian dan assesment merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.

2.2  Jenis-Jenis Tes sebagai Alat Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar

Penialian Acuan Norma (PAN)

Dalam proses ini skor yang diperoleh seorang peserta tes akan dibandingkan dengan skor peserta lainnya. Diharapkan dengan dibanding maka dapat ditetapkankan apakah skor tersebut berada diatas skor rata-rata atau dibawahnya.

Namun terdapat kelemahan didalamnya, yaitu tidak dapat memberikan gambaran tentang kemampuan aktual siswa atau peserta tes yang sesungguhnya. Contoh, seorang siswa yang memiliki skor dengan posisi 25 % skor teratas disekolahnya, maka setelah dibandingkan dengan skor-skor siswa lainnya didaerah berubah menjadi 15 % skor teratas dan akan menjadi lebih baik apabila dibandingkan dengan skor siswa secara nasional. Siswa yang memiliki skor 15 % teratas secara nasional belum tentu telah menguasai materi tes dengan baik.

Panduan Acuan Patokan (PAP)

PAP merupakan cara penilaian yang mebandingkan skor tes siswa dengan standar yang telah ditetapkan.  Standar tersebut adalah pencapaian tujuan pembelajaran secara spesifik. Sehingga PAP dapat memberikan informasi yang jelas tentang kemampuan siswa secara aktual.

Sebagai contoh, tes yang dikembangkan bertujuan untuk untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap operasi matematika dengan menggunakan dua digit angka, maka dibuat tes sebanyak 20 soal dengan berbagai variasi yang menggunakan dua digit angka maka skor tertinggi adalah 20. Standar kelulusan adalah apabila siswa dapat skor 17, bila dibawahnya maka dinyatakan tidak lulus.

2.3  Pengolahan Skor Tes

Dalam mengelola skor tes berikut langkah-langkahnya:

  1. Menentukan distribusi frekuensi
  2. Menentukan mean, median, dan standar deviasi

2.4 Jenis-Jenis Alat Pengukur dan Penilaian Non Tes

Observasi

Observasi dilaksanakan berdasrkan pedoman observasi yang dikembangkan berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan objek yang akan diobservasi. Hasil observais akan direkam dengan alat perekam yaitu checlist, rating scale, atau alat yang lain yang dapat digunakan dalam merekam data observasi secara valid dan reliabel.

Studi Kasus

Studi kasus merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam assesmen. Misalnya hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan akademik atau perkembangan dan perttumbuhan seorang anak yang telah direkam dalam berbagai bentuk dokumen seperti: umur berapa anaka dapat berjalan, berlari, apakah ada kesulitan dalam tumbbuh kembang anaka tersebut.

Analisis Terhadap Sampel Kerja

Salahsatunya yaitu portofolio, yang berisi kumpulan dari sampel kinerja anak di berbagai bidang seperti matematika, emngarang, seni, olah raga, dll.

2.5  Karakteristik Pengukuran dan Penilaian

Dalam pengukuran dan penilaian harus dilandasi dengan alat ukur yang valid dan reliabel.

Validitas

Validitas alat pengiukuran, misalnya tes, berkaitan tingkat ketepatan tes yang digunakan untuk mengukur apa yang harus diukur. Validitas alat pengukuran dan penilaian terdiri dari beberapa jenis (Gray, 1980:16667-172) yaitu:

  1. Content validity
  2. Construct validity
  3. Concutrent validity
  4. Perdiktive validity

Reliabilitas

Berkaitan dengan konsistensi, maksudnya instrumen yang digunakan memberikan hasil yabg sama apabila instrumen tersebut diberikan lagi pada siswa yang telah mengikuti kegiatan pengukuran dengan alat pengukur yang sama.

Berikut petunjuk bagi guru untuk mengembangkan instrumen yang reliabel:

  1. Memperbanyak item tes
  2. Menentukan tingkat kesulitan yang optimum
  3. Menulis item tes secara jelas
  4. Atmosphere yang konndusif
  5. Skor yang objektif

 2.6 Tujuan dan Penggunaan Penilaian dan Pengukuran dalam Pendidikan

Tujuan dan kegunaan penilaian pendidikan termasuk perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Menurut Thorndike dan Hagen (1977) tujuan dan kegunaan penilaian pendidikan dapat diarahkan kepada keputusan-keputusan yang menyangkut (1) pengajaran (2) hasil belajar (3) Diagnosis dan usaha perbaikan (4) penempatan (5) seleksi (6) bimbingan dan konseling, (7) kurikulum, dan (8) penilaian kelembagaan.

1. Keputusan dalam Bidang Pengajaran

Salah satu peranan penting usaha pengukuran dan penilaian ialah untuk mengarahkan pengambilan keputusan yang berkenaan dengar, apa yang harus dipelajari atau apa yang harus dipelajari dan dipraktekkan oleh para mahasiswa secara perorangan, kelompok-kelompok kecil, ataupun keseluruhan kelas. Untuk keperluan ini maka pengukuran dan penilaian harus mampu mengindentifikasikan kompetensi-kompetensi mana yang sudah ada dan belum ada pada mahasiswa, yang selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk menetapkan isi pengajaran yang berikutnya

2. Keputusan Tentang Hasil Belajar

Tenaga pengajar mempunyai tanggung jawab untuk menyampaikan hasil belajar yang dicapai oleh mahasiswa yang telah belajar itu, dan bahkan jika diperlukan juga perlu memberikan laporan kepada orang tua atau wali mahasiswa tentang hasil belajar mahasiswa itu. Pemberitahuan dan laporan hasil belajar ini diinginkan meliputi aspek-aspek yang luas antara lain pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang cukup mewakili tujuan-tujuan pengajaran atau perkuliahan yang diprogramkan oleh perguruan tinggi.

3. Keputusan dalam Rangka Diagnosis

Tes diagnotik diselenggarakan untuk mengetahui dalam bidang mana mahasiswa telah atau belum mengusai kompetensi tertentu, atau dengan kata lain, tes diagnostik berusaha mengungkapkan kekuatan atau kelemahan dalam bidang yang diujikan.

4. Keputusan Berkenaan dengan Penempatan

Pengajaran ataupun pelayanan yang diberikan kepada mahasiswa tersebut tidak diberikan secara sama rata kepada semua mahasiswa. Mahasiswa yang satu barangkali memerlukan pengajaran ataupun pelayanan yang lebih banyak dari pada mahasiswa yang lain. Keperluan mahasiswa tidak sama ini sering mendorong pengajar untuk mengadakan pengelompokkan setara (homogeneous prouping). Kelompok-kelompok setara yang masing-masing memiliki taraf kemampuan yang berbeda-beda itu kemudian diberi pengajaran yang sesuai dengan taraf kemampuan masing-masing kelompok.

5. Keputusan Berkenaan dengan Seleksi

Seleksi biasanya dihubungkan dengan jumlah tempat yang tersedia dalam kaitannya dengan jumlah calon yang mendaftarkan untuk mengisi tempat itu, sedangkan secara ideal seleksi dihubungkan dengan mutu lulusan yang diambil biasanya didasarkan atas batas lulus.

6. Keputusan Berkenaan dengan Pelayanan Bimbingan dan Konseling

Sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah agar mampu mengenali dan menerima diri sendiri, serta atas dasar pengenalan dan penerimaan diri ini mahasiswa mampu mengambil keputusan untuk diri sendiri, mengarahkan dan mewujudkan diri sendiri sesuai dengan bakat, kemampuan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya sendiri dan lingkungannya.

7. Keputusan Berkenaan dengan Kurikulum

Program pendidikan yang komprehensif dan luwes (fleksibel) isi kurikulum dan rancangan pengajaran-pengajaran beserta berbagai sarana penunjangnya tidaklah tunggal, melainkan tersedia beberpa (atau bahkan berbagai) kemungkinan, perubahan dalam penekanan isi kurikulum, dalam prosedur dan sarana pengajran dimungkinkan.

8. Keputusan Berkenaan dengan Penelitian Kelembagaan

Ada lembaga pendidikan yang menyebabkan siswa-siswinya telah banyak yang putus sekolah atau yang baru menamatkan siswa-siswa itu menjalani masa belajar jauh melampaui batas masa belajar yang normal. Ada lagi lembaga pendidikan yang hanya mampu menghasilkan para lulusan yang (dilihat dari hasil belajar mereka) berprestasi sekitar rata–rata saja. Hal ini semua dapat diketahui penelaahan hasil pengukuran dan pendidikan.

Daftar Pustaka

Gray R.L. Educational & Evaluation Measurement: Competencies for Analysis and Application. Columbus: Charles E. Merill Publishing Company, A Bell & Howel Company. 1980

Jamaris, Martini. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Yayasan Penamas Murni. Jakarta. 2010

Wikipedia (2010, Nopember 27). Pengukuran[Online] Available: http://en wikipedia. org

Google (2010, Desember 05), Penialian dan Pengukuran dalam pendidikan (Online) Available:http://google.co.id

Dari berbagai sumber

KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

Pengertian Kepemimpinan

Banyak definisi mengenai kepemimpinan yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, tergantung pada perspektif yang digunakan. Kepemimpinan dapat didefinisikan berdasarkan penerapannya pada bidang militer, olahraga, bisnis, pendidikan, industri dan bidang-bidang lainnya.

Menurut Tannenbaum, Weschler & Massarik kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau beberapa tujuan tertentu.  Slamet Santosa mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mempengaruhi anggota kelompok agar mereka bersedia menyumbangkan kemampuannya lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok yang telah disepakati

Menurut Ordway Tead (1935) kepemimpinan adalah aktivitas  mempengaruhi orang-orang agar mau bekerjasama untuk mencapai beberapa tujuan yang mereka inginkan

Dari definisi yang berbeda-beda tersebut mengandung kesamaan asumsi yang bersifat umum, seperti: di dalam satu fenomena kelompok melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih; di dalam melibatkan proses mempengaruhi, di mana pengaruh yang sengaja digunakan oleh pemimpin terhadap para bawahan dan juga mempunyai makna dan tujuan yang sama yaitu bagaimana menciptakan suasana lingkungan, pemikiran dan tindakan para staff atau team work agar dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi.

Teori Kepemimpinan

Teori kepemimpinan membicarakan bagaimana seseorang menjadi pemimpin, atau bagaimana timbulnya seorang pemimpin. Ada beberapa teori tentang kepemimpinan. Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya ada dua teori kepemimpinan, yaitu teori sifat (traits theory) dan teori situasional (situational theory) sementara Wursanto menyatakan ada enam teori kepemimpinan, yaitu; teori kelebihan, teori sifat, teori keturunan, teori kharismatik, teori bakat, dan teori social, sedangkan Miftah Thoha mengelompokannya kedalam; teori sifat, teori kelompok, teori situasional, model kepemimpinan kontingensi, dan teori jalan tujuan (path-goal theory) Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori kepemimpinan, maka di bawah ini akan diuraikan beberapa teori kepemimpinan sebagaimana diungkapkan oleh ketiga pakar tersebut di atas.

  1. Teori kelebihan, beranggapan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin apabila ia memiliki kelebihan dari para pengikutnya. Pada dasarnya kelebihan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin mencakup tiga hal, pertama; kelebihan ratio, yaitu kelebihan menggunakan pikiran, kelebihan dalam pengetahuan tentang hakikat tujuan dari organisasi, dan kelebihan dalam memiliki pengetahuan tentang cara-cara menggerakkan organisasi, serta dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, Kedua; kelebihan rohaniah, berarti seorang pemimpin harus mampu menunjukkan keluhuran budi pekertinya kepada para bawahan. Seorang pemimpin harus mempunyai moral yang tinggi karena pada dasarnya pemimpin merupakan panutan para pengikutnya. Segala tindakan, perbuatan, sikap dan ucapan hendaknya menjadi suri tauladan bagi para pengikutnya, Ketiga, kelebihan badaniah; seorang pemimpin hendaknya memiliki kesehatan badaniah yang lebih dari para pengikutnya sehingga memungkinkannya untuk bertindak dengan cepat. Akan tetapi masalah kelebihan badaniah ini bukan merupakan faktor pokok.
  2. Teori sifat, pada dasarnya sama dengan teori kelebihan. Teori ini menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik apabila memiliki sifat-sifat yang lebih daripada yang dipimpin. Di samping memiliki kelebihan pada ratio, rohaniah dan badaniah, seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat yang positif, misalnya; adil, suka melindungi, penuh percaya diri, penuh inisiatif, mempunyai daya tarik, energik, persuasif, komunikatif dan kreatif. Menurut Miftah Thoha bahwa sesungguhnya tidak ada korelasi sebab akibat antara sifat dan keberhasilan pemimpin, pendapatnya itu merujuk pada hasil penelitian Keith Davis yang menyimpulkan ada empat sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu;

(1) kecerdasan ( di atas disebutkan kelebihan ratio). Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya,

(2) kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial, para pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-akltivitas sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai,

(3) motivasi dan dorongan berprestasi, para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka berusaha mendapatkan penghargaan yang instrinsik dibandingkan dari yang ekstrinsik,

(4) sikap-sikap hubungan kemanusiaan, para pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya, dalam istilah penelitian Universitas Ohio pemimpin itu mempunyai perhatian, dan kalau mengikuti istilah penemuan Michigan, pemimpin itu berorientasi pada karyawan bukannya berorientasi pada produksi.

  1. Teori keturunan, yang menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin karena keturunan atau warisan. Karena orang tuanya seorang pemimpin maka anaknya otomatis akan menjadi pemimpin menggantikan orang tuanya, seolah-olah seseorang menjadi pemimpin karena ditakdirkan.
  2. Teori kharismatik, yang menyatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena mempunyai kharisma (pengaruh) yang sangat besar. Kharisma itu diperoleh dari Kekuatan Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini ada suatu kepercayaan bahwa orang itu adalah pancaran Zat Tunggal, sehingga dianggap mempunyai kekuatan ghaib (supranatural power). Pemimpin yang bertipe kharismatik biasanya memiliki daya tarik, kewibawaan dan pengaruh yang sangat besar.
  3. Teori bakat, yang disebut juga teori ekologis, menyatakan bahwa pemimpin itu lahir karena bakatnya. Ia menjadi pemimpin karena mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin. Bakat kepemimpinan itu  harus dikembangkan, misalnya dengan  memberi kesempatan orang tersebut menduduki suatu jabatan.
  4. Teori Sosial, beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin. Setiap orang mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin asal dia diberi kesempatan. Setiap orang dapat dididik menjadi pemimpin karena masalah kepemimpinan dapat dipelajari, baik melalui pendidikan formal maupun melalui pengalaman praktek.
  5. Teori Kelompok, beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, maka harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya.
  6. Teori Situasional, menyatakan bahwa beberapa variabel-situasional mempunyai pengaruh terhadap peran kepemimpinan, kecakapan dan perilakunya termasuk pelaksanaan kerja dan kepuasan para pengikutnya.
  7. Model kepemimpinan kontingensi, yang dikemukakan oleh Fiedler adalah hasil pengujian hipotesa yang telah dirumuskan dari penelitiannya terdahulu. Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi menyenangkan dalam hubungannya dengan dimensi-dimensi empiris berikut ini:

(1) Hubungan pimpinan-anggota. Variabel ini sebagai hal yang paling menentukan dalam menciptakan situasi yang menyenangkan,

(2) Derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan urutan kedua dalam menciptakan situasi yang menyenangkan,

(3) Posisi kekuasaan pemimimpin yang dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan urutan ketiga dalam menciptakan situasi yang menyenangkan.

  1. Teori Jalan Tujuan (Path-Goal Theory) yang mula-mula dikembangkan oleh Geogepoulos dan kawan-kawannya di Universitas Michigan. Pengembangan teori ini selanjutnya dilakukan oleh Martin Evans dan Robert House. Secara pokok teori path-goal dipergunakan untuk menganalisa dan menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan kerja bawahan. Ada Dua faktor situsional yang telah diidentifikasikan, yaitu sifat personal para bawahan, dan tekanan lingkungan dengan tuntutan-tuntutan yang dihadapi oleh para bawahan. Untuk situasi pertama, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan, atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan masa depan. Adapun faktor situasional kedua, path-goal, menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan bisa menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika;

(1) Perilaku tersebut dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan bawahan sehingga memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja,

(2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang berupa memberikan latihan, dukungan, dan penghargaan yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan kerja.

 

Tipe-tipe (Gaya) Kepemimpinan Pendidikan

Tipe kepemimpinan sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya kepemimpinan (leadership style). Menurut Miftah Toha gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Oleh karenanya usaha menselaraskan persepsi di antara yang akan mempengaruhi dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting. Sondang P. Siagian mengatakan ada lima tipe kepemimpinan yang diakui keberadaannya, yakni: otokratik, paternalistik, kharismatik, laissez faire, dan tipe demokratik.

A Malik Fadjar mengemukakan pendapat Max. Weber yang mengemukakan tipe kepemimpinan, yakni kepemimpinan tradisional, birokratis, dan kepemimpinan demokratis. Tipologi ini lebih melihat kepada cara orang itu mendapat amanah kepemimpinan bukan dilihat dari seni memimpin. Lain halnya dengan Tony Bush dan Marianne Coleman yang mengemukakan hasil penelitian para ahli tentang tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional. Dari dua tipe kepemimpinan yang berseberangan ini, Bass dan Avolio (1994) menawarkan sebuah teori dua-faktor kepemimpinan yang mengembangkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat eksis berdampingan dengan kepemimpinan transaksional. Sedangkan Duncan menyebutkan ada tiga gaya kepemimpinan, yaitu; otokrasi, demokrasi, dan gaya bebas (the laissez faire). Wursanto menambahkan tipe (gaya) paternalistik, militeristik, dan open leadership . Sementara Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana melengkapinya dengan gaya kepemimpinan partisipatif, berorientasi pada tujuan, dan situasional.

Di bawah ini akan diuraikan tipe-tipe (gaya-gaya) kepemimpinan di atas dengan maksud memberikan gambaran yang jelas mengenai persamaan dan perbedaannya, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam memahami gaya kepemimpinan disebabkan pengistilahan yang berbeda padahal maksud dan tujuannya sama.

  • Kemimpinan Otokrasi

Kepemimpinan ini disebut juga kepemimpinan diktator atau direktif. Orang yang menganut pendekatan ini mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan para karyawan yang harus melaksanakannya atau karyawan yang dipengaruhi keputusan tersebut. Menurut Wursanto, kepemimpinan otokrasi adalah kepemimpinan yang mendasarkan pada suatu kekuasaan atau kekuatan yang melekat pada dirinya.

Ciri-ciri kepemimpinan otokrasi antara lain :

(1).  Mengandalkan kepada kekuatan atau kekuasaan yang melekat pada

dirinya

(2).  Menganggap dirinya paling berkuasa,

(3).  Menganggap dirinya paling mengetahui segala persoalan, orang lain

dianggap tidak tahu,

(4). Keputusan-keputusan yang diambil secara sepihak, tidak mengenal

kompromi, sehingga  ia tidak mau menerima saran dari bawahan, bahkan

ia  tidak memberi kesempatan kepada bawahan untuk meberikan saran,

pendapat atau ide,

(5).  Keras dalam prinsip,

(6).  Jauh dari bawahan,

(7).  Lebih menyukai bawahan yang bersikap abs (asal bapak senang),

(8).   Perintah-perintah diberikan secara paksa,

(9).   Pengawasan dilakukan secara ketat agar perintah benar-benar

dilaksanakan.

  • Kepemimpinan Demokratik

Kepemimpinan ini dikenal pula dengan istilah kepemimpinan konsultatif atau konsensus. Orang yang menganut pendekatan ini melibatkan para karyawan dalam proses pembuatan keputusan, walaupun yang membuat keputusan akhir adalah pemimpin, setelah menerima masukan dan rekomendasi dari anggota tim. Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya,  kepemimpinan demokratis pada umumnya berasumsi bahwa pendapat orang banyak lebih baik dari pendapatnya sendiri dan adanya partisipasi akan menimbulkan tanggung jawab bagi pelaksananya. Asumsi lain bahwa partisipasi memberikan kesempatan kepada para anggota untuk mengembangkan diri mereka.

  •  Kepemimpinan Laissez Faire

Kepemimpinan yang lebih banyak menekankan pada keputusan kelompok. Dalam tipe ini, seorang pemimpin akan menyerahkan keputusan kepada keinginan kelompok, apa yang baik menurut kelompok itulah yang menjadi keputusan. Pelaksanaannyapun tergantung kepada kemauan kelompok. Pada umumnya tipe laissez faire dijalankan oleh pemimpin yang tidak mempunyai keahlian teknis. Tipe laissez faire mempunyai ciri-ciri antara lain;

(1). Memberikan kebebasan sepenuhnya kepada bawahan untuk melakukan

tindakan yang dianggap perlu sesuai deng an bidang tugas masing-masing,

(2). Pimpinan tidak ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelompok,

(3). Semua pekerjaan dan tanggungjawab dilimpahkan kepada bawahan,

(4). Tidak mampu melakukan koordinasi dan pengawasan yang baik,

(5). Tidak mempunyai wibawa sehingga ia tidak ditakuti apalagi disegani oleh

bawahan,

(6). Secara praktis pemimpin tidak menjalankan kepemimpinan, ia hanya

merupakan simbol belaka.

  •  Kepemimpinan Partisipatif

Dikenal juga dengan istilah kepemimpinan terbuka atau nondirective. Pemimpin yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan. Ia hanya sedikit menyajikan informasi mengenai suatu permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk mengembangkan strategi dan pemecahannya, ia hanya mengarahkan tim kearah tercapainya consensus.

  •  Kepemimpinan Paternalistik

Kepemimpinan ini bersifat kebapakan. Pemimpin selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan dalam batas-batas kewajaran. Ciri-ciri pemimpin penganut paternalistik antara lain:

(1). Pemimpin bertindak sebagai seorang bapak

(2). Memperlakukan bawahan sebagai orang yang belum dewasa,

(3). Selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan yang kadang-

kadang berlebihan,

(4). Keputusan ada di tangan pemimpin, bukan karena ingin bertindak secara

otoriter, tetapi karena keinginan memberikan kemudahan kepada

bawahan. Oleh karena itu para bawahan jarang bahkan sama sekali tidak

memberikan saran kapada pimpinan, dan pimpinan jarang bahkan tidak

pernah meminta saran dari bawahan,

(5). Pimpinan menganggap dirinya yang paling mengetahui segala macam

persoalan.

  •  Kepemimpinan Berorientasi Pada Tujuan

Kepemimpinan ini disebut juga kepemimpinan berdasarkan hasil atau sasaran. Penganut pendekatan ini meminta bawahan (anggota tim) untuk memusatkan perhatiannya pada tujuan yang ada. Hanya strategi yang dapat menghasilkan kontribusi nyata dan dapat diukur dalam mencapai tujuan organisasilah yang dibahas, faktor lainnya yang tidak berhubungan dengan tujuan organisasi diminimumkan.

  • Kepemimpinan Militeristik

Tidak hanya terdapat di kalangan militer saja, tetapi banyak juga terdapat pada instansi sipil (non-militer). Ciri-ciri kepemimpinan militeristik antara lain;

(1).  Alat komunikasi lebih banyak mempergunakan saluran formal,

(2). Dalam menggerakkan bawahan dengan sistem komando/perintah, baik

secara lisan  ataupun tulisan,

(3). Segala sesuatu bersifat formal,

(4). Disiplin tinggi, kadang-kadang bersifat kaku,

(5). Komunikasi berlangsung satu arah, bawahan tidak diberikan kesempatan

Untuk memberikan pendapat,

(6). Pimpinan menghendaki bawahan patuh terhadap semua perintah yang

diberikannya.

  • Kepemimpinan Situasional

Dikenal juga sebagai kepemimpinan tidak tetap (fluid) atau kontingensi. Asumsi yang digunakan dalam tipe ini adalah bahwa tidak ada satu pun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin dalam segala kondisi. Oleh karena itu gaya kepemimpinan situasional akan menerapkan suatu tipe tertentu berdasarkan pertimbangan atas faktor-faktor seperti pemimpin, pengikut, dan situasi ( dalam arti struktur tugas, peta kekuasaan, dan dinamika kelompok )

  •  Kepemimpinan Transformasional

Untuk menjawab pelbagai permasalahan yang dihadapi disekolah, pola kepemimpinan transformasional merupakan salah satu pilihan bagi kepala sekolah untuk memimpin dan mengembangkan sekolah yang berkualitas. Kepemimpinan transformasional memiliki penekanan dalam hal;

(1). Pernyataan visi dan misi yang jelas

(2). Penggunaan komunikasi yang efektif

(3). Pemberian rangsangan intelektual

(4). Perhatian pribadi terhadap permasalahan individu anggota organisasinya

Kepemimpinan merupakan energi yang mempengaruhi dan memberi arah yang terkandung dalam diri pribadi pemimpin. Ciri dominan dari sifat-sifat pemimpin menurut penelitian Lussier (2001) antara lain:

(1). Dominasi/pengaruh

(2). Energi tinggi

(3). Keyakinan diri

(4). Lokus internal pengendalian

(5). Stabilitas

(6). Integritas

(7). Intelegensi

(8). Fleksibilitas

(9). Sensitivitas kepada orang lain

Ciri dominan kepemimpinan transformasional menurut Leithwood dkk seperti di kutip Danim (2003) antara lain:

(1). Memiliki sensitifitas terhadap pengembangan organisasi

(2). Mengembangkan visi bersama antar komunitas organisasi

(3). Mendistribusikan peran kepemimpinan

(4). Mengembangkan kultur sekolah

(5). Melakukan usaha restrukturisasi disekolah.

Ciri-ciri dominan seseorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional menurut Luthans seperti yang dikutip oleh Suyanto (2001) antara lain:

(1). Mengidentifikasi dirinya sebagai agen pembaruan

(2). Memiliki sifat pemberani

(3). Mempercayai orang lain

(4). Bertindak atas dasar sistem nilai

(5). Meningkatkan kemampuan secara terus menerus

(6). Memiliki kemampuan utuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas dan

tidak menentu

(7). Memiliki visi kedepan.

Atribut-atribut pemimpin transformasional yang efektif menurut  Yulk (1998) antara lain:

(1). Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai agen perubahan

(2). Mereka adalah pengambil resiko yang berhati-hati

(3). Mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan

mereka

(4). Mereka mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing

perilaku  mereka

(5). Mereka fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dan pengalaman

(6). Mereka mempunyai ketrampilan koknitif

(7). Mereka memiliki keyakinan pada pemikiran yang berdisiplin dan

kebutuhan akan  analisis masalah yang hati-hati

(8). Mereka adalah orang yang memiliki visi yang mempercayai intuisi mereka.

Ciri-ciri dari kepemimpinan antara lain:

(1).   Karismatik, yaitu memberikan visi dan misi organisasi dengan jelas,

Menanamkan kebanggaan, memperoleh respek, dukungan dan

kepercayaan dari bawahan/rekan kerjanya

(2).   Inspiratif, yaitu mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan

lambing untuk memfokuskan upaya mengungkapkan maksud penting

dengan cara yang sederhana

(3).   Memiliki rangsangan intelektual, yaitu menggalakkan perilaku yang

cerdas, membangun   organisasi belajar, rasionalitas dan memberikan

pemecahan masalah  yang teliti

(4).  Pertimbangan yang diindividualkan, yaitu memberikan perhatian pribadi,

memperlakukan setiap karyawan secara individual, melatih dan

menasehati.

Indikator kepemimpinan transformasional antara lain:

(1). Pembaru

(2). Memberi teladan

(3). Mendorong kinerja bawahan

(4). Mengharmoniskan lingkungan kerja

(5). Memberdayakan bawahan

(6). Bertindak atas dasar sistim nilai

(7). Meningkatkan kemampuan secara terus-menerus

(8). Mampu menghadapi situasi yang rumit.

Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.

Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.

(1). Idealized influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.

(2). Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.

(3). Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.

(4). Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.

Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di sekolahnya.

Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:

(1). Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk

organisasi

(2). Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang

tinggi

(3). Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat

kerja sama

(4). Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi

(5). Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan

contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan.

(6). Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi

terhadap Organisasi.

Kepemimpinan transformasional melalui tiga unsur yaitu karisma, konsideran individual, dan stimulasi intelektual pada diri kepala sekolah dianggap mampu menjawab tantangan pelaksanaan manajemen instruksional sekolah. Karisma merupakan komponen paling penting dalam konsep kepemimpinan transformasional secara luas. Dengan karisma yang kuat, akan semakin mudah bagi seorang pemimpin untuk menanamkan pengaruh terhadap anak buah.

Sebaliknya semakin lemah karisma seseorang, akan semakin sulit dalam upaya memberikan pengaruh kepada anak buah. Padahal, dalam konteks kepemimpinan, menjadi penting sekali bagi seseorang untuk menanamkan pengaruhnya terhadap orang lain. Sementara para kepala sekolah menunjukkan kuatnya kemauan untuk mendorong pemahaman terhadap pandangan orang lain, memperlakukan orang lain dengan penuh hormat, menyiapkan anak buah untuk siap mengorbankan diri sendiri demi kepentingan kelompok dan sebagai pemberi inspirasi, mendatangkan antusiasme, loyalitas, dan menciptakan anak buah siap mengorbankan kepentingan pribadi untuk keperluan umum yang memerlukannya. Konsideran individual, dimana di bawah kepemimpinan transformasional kepekaan terhadap perseorangan sangatlah diutamakan.

Secara umum kepemimpinan transformasional kepala sekolah pada elemen ini, senang memotivasi staf untuk berani mengemukakan gagasan dan pendapat serta sikap optimistik, menampakkan apresiasi terhadap hasil kerja yang bagus, mengenali kerja staf secara perseorangan, dan mencari sumber-sumber ide baru untuk staf, kepala sekolah mengetahui bawahan secara perseorangan dan meniadakan bentuk sanksi atas kesalahan mereka dalam rangka meningkatkan profesionalisasi serta menghargai pentingnya kunjungan kepala sekolah ke sekolah lain untuk mencari ide baru.

  • Kepemimpinan Motivasional

 Motivasi pada dasarnya merupakan kondisi mental yang mendorong pemimpin melakukan suatu tindakan atau aktivitas dan memberikan kekuatan yang mengarah kepada pencapaian pemenuhan keinginan, kebutuhan, member kepuasan, ataupun mengurangi ketidakseimbangan.

Pemimpin yang hebat memiliki motivasi dan motivasi diri yang sangat kuat. Motivasi diri juga bermakna kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, atau mekanisme psikologis yang mendorong pemimpin untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan standar isi dan luaran yang dikehendaki.

Menurut Robert Dubin seperti yang dikutip Danim mengartikan motivasi sebagai kekuatan kompleks yang membuat pemimpin berkeinginan memulai  dan menjaga kondisi kerja dalam organisasi

Delapan kunci motivasi dan semangat kerja

(1). Pengetahuan dan keyakinan

(2). Menjadi pembelajar

(3). Menciptakan budaya kerja

(4). Akuntabilitas timbal balik

(5). Membangun kolegialitas

(8). Meniru tindakan pelatih

(7). Keterampilan kepemimpinan

(8). Pengembangan profesionalisme

  •  Kepemimpinan Transaksional

 Kepemimpinan harus memainkan peran dalam rangka menyediakan visi yang menarik, kemampuan yang mempengaruhi dan memimpin orang-orang menuju pencapaian tujuan-tujuan tertentu, memotivasi, menginspirasi, dan mendukung orang-orang kea rah tujuan organisasi, memberdayakan dan mengembangkan kaderisasi bagi lahirnya kepala sekolah baru. Kepemimpinan transaksional ternyata sangat memperhatikan nilai moral seperti kejujuran, keadilan, kesetiaan, dan tanggung jawab. Transaksi kepala sekolah dengan guru dan stafnya diangkat ke tataran moral jika diatur dengan prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, tanggungjawab, dan kesetiaan, sebab nilai-nilai tersebut merupakan nilai instrinsik dalam pengalaman hidup manusia yang sesungguhnya.

Mengikuti pemikiran Bass (2007) kepala sekolah transaksional bekerja didalam budaya organisasi sekolah seperti yang ada, sedangkan kepala sekolah transformasional mengubah budaya organisasi sekolah.

Kepemimpinan transaksional dan transformasional, perbedaannya dapat diringkaskan dalam bentuk yang sederhana untuk memudahkan dalam memehaminya.

Teori KAIZEN

Kaizen istilah Jepang yang berarti “perbaikan terus-menerus” dengan melakukan hal-hal kecil yang lebih baik dan menetapkan dan mencapai standar yang semakin tinggi.Terjemahan yang tepat adalah: Kai = perubahan, Zen = lebih baik.

Ini adalah filosofi Jepang yang awalnya berasal dari budaya Jepang dan praktek manajemen Jepang. Kaizen berfokus pada kualitas yang adalah tujuan dari setiap hari, kualitas hidup yang memerlukan perbaikan secara bertahap dan tak terbatas dan mengejar kesempurnaan.

Kaizen telah menjadi bagian dari teori manajemen Jepang di pertengahan tahun 1980-an dan para konsultan manajemen di Barat dengan cepat mengambil dan menggunakan istilah Kaizen untuk diterapkan dalam praktek manajemen secara luas, yang pada pokoknya Kaizen dianggap milik Jepang dan cenderung membuat perusahaan Jepang menjadi kuat di bidang peningkatan yang terus-menerus dibandingkan yang terus menerus dibandingkan dengan inovasi.

Sebagian besar orang Jepang menurut sifat alamiahnya, atau dengan latihan, memperhatikan perincian. Orang Jepang memiliki rasa akan kewajiban yang kuat untuk bertanggung jawab agar segala sesuatunya berjalan selancar mungkin, apakah itu dalam kehidupan keluarga atau pekerjaan. Itulah sebabnya mengapa Kaizen sangat sukses di Jepang.

10 Prinsip Kaizen (Pendekatan Tradisional)

  1. Katakan tidak untuk status quo, menerapkan metode baru dan menganggap mereka akan bekerja.
  2. Jika ada sesuatu yang salah, memperbaikinya.
  3. Tidak menerima alasan dan membuat sesuatu terjadi.
  4. Meningkatkan segalanya terus menerus.
  5. Memusnahkan yang tua
  6. Jadilah ekonomis. Simpan uang melalui perbaikan kecil dan menghabiskan uang yang disimpan pada perbaikan lebih lanjut.
  7. Memberdayakan semua orang untuk mengambil bagian dalam pemecahan masalah.
  8. Sebelum membuat keputusan, tanyakan “mengapa” lima kali untuk sampai ke akar penyebab.
  9. Dapatkan informasi dan opini dari beberapa orang.
  10. Ingat bahwa perbaikan tidak memiliki batas. Jangan pernah berhenti berusaha untuk meningkatkan.

Gambar

Pada era seperti saat ini banyak sekali organisasi-organisasi modern yang mengimplementasikan teori ini karena sebuah organisasi membutuhkan perbaikan secara terus menerus jika ingin menjadi organisasi yang besar.

Bagaimana dengan organisasi Anda?

 

SADAP YANG TAK SEDAP

Indonesia di sadap?
Beberapa hari ini kita menyimak pemberitaan di media nasional berkaitan penyadapan yang dilakukan oleh Australia. Betapa kagetnya kita mengetahui bahwa pejabat-pejabat di negeri ini di sadap dengan mudah oleh Australia. Apapun kepentingan dan motivasinya bahwa kegiatan menyadap bangsa lain adalah melanggar etika bernegara apalagi bangsa yang bertetangga.

Kita jadi bertanya-tanya apa yang salah dalam ketahanan dan pertahanan teknologi nasional kita? Kenapa dengan begitu mudahnya disadap? Seperti kita ketahui bahwa Negara kita memiliki lembaga-lembaga yang bisa menangka segala macam mata mata seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Badan Intelejen Strategis (BAIS), dan Lembaga Sandi Negara (LSN).

Mengapa bangsa kita gampang di sadap dan lembaga-lembaga tersebut tidak mengetahuinya? Apakah teknologi pertahanan kita yang lemah? Kejadian ini bisa menjadi pelajaran berharga bangsa ini bahwa sangat penting menjaga negara dengan kemampuan dan teknologi yang tinggi sehingga tidak terjadi lagi penyadapan-penyadapan oleh bangsa manapun terhadap kedaulatan Indonesia. Pentingnya menyatukan seluruh kekuatan bangsa dalam menghadapi arogansi bangsa lain.

Belajar dari kejadian ini juga sudah saatnya Bangsa Indonesia memberikan sikap tegas dan jelas kepada Australia. Pernyataan pejabat Australia yang menyatakan tidak mau meminta maaf merupakan tindakan yang arogan sebagai sebuah negara tetangga. Ditariknya duta besar Indonesia untuk Australia adalah salah satu sikap bukti keseriusan kita menanggapi masalah ini. Headline media-media di Australia menulis kegiatan penyadapan negeri kanguru itu bahkan beberapa polling yang dilakukan menyatakan bahwa sebaiknya Australia meminta maaf atas kegiatan memata matai Indonesia. Menurut penulis Indonesia harus memberi bersikap tegas melalui penghentian kerjasama berbagai bidang dengan Australia.

Bangsa kita sudah saatnya menunjukkan jatidiri kita sebagai bangsa yang besar dan tidak bisa di dikte maupun di intervensi oleh negara manapun. Semoga dimasa depan Indonesia mampu menangkal segala macam ancaman dan intervensi dari negara manapun. Semoga..

Kurikulum dan Implementasinya

A. Pengertian Kurikulum
Sejarah Kurikulum di Indonesia sering mengalami perubahan setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975,1984, 1994, 2004, dan 2006.
Perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang dari satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamusnya tahun 1856.
Artinya pada waktu itu artinya ialah:
1. A race course ; a place for running ; a chariot.
2. A course in general ; applied particulary to the course of study in a university.
Jadi dengan “kurikulum” dimaksud jarak yang harus di tempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai akhir. “kurikulum” juga berarti “chariot” semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suatu alat yang membawa seseorang dari “start” sampai “finish”.
Disampaing penggunaan “kurikulum” semula dalam bidang olah raga, kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi. Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun lima puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di America serikat. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran.
Dalam teori praktik, pengertian kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan. Para ahli-ahli pendidikan kebanyakan memberi arti atau istilah yang lebih luas. Perubahan ini terjadi karena ketidakpuasan dengan hasil pendidikan di sekolah dan ingin selalu memperbaiki. Selain itu yang mempengaruhi perubahan dari makna atau arti kurikulum adalah perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat mengubah perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Disamping itu banyak timbul pendapat-pendapat baru, tentang hakikat dan perkembangan anak, cara belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan yang memaksa diadakannya perubahan dalam kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah proses yang tak hentinya, yang harus dilakukan secara kontinu. Namun, mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah, praktek pendidikan disekolah senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan teori kurikulum. Bukan suatu yang aneh. Bila suatu teori kurikulum baru menjadi kenyataan setelah 50 sampai 75 tahun kemudian.
Dengan bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai macam definisi kurikulum, sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya kurikulum itu. Akhirnya setiap pendidikan, setiap guru harus menentukan sendiri apakah kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang akan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dalam kelas maupun diluar kelas.
Dibawah ini beberapa kurikulum menurut beberapa kurikulum menurut beberapa ahli kurikulum.
1. J. Galen Taylor dan William M. Alexander dalam buku curriculum planning for better teaching and learning (1956). Menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut “segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah atau diluar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan extra kurikuler
2. Harold B. Albertycs. Dalam reorganizing the high school curriculum (1965). Memandang kurikulum sebagai “all school”. Seperti halnya dengan definisi saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan diluar kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah.
3. B. Othanel Smith, w.o. Stanley, dan J. Harjan Shores. Memandang kurikulum sebagai “a sequence of potential experience set up in the school for the purpose of diseliping ehildren and youth in group ways of thinking and acthing”. Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berfikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4. William B Ragan, dalam buku modern elementary curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut:
Ragan menggunakan kurikulum dalam arti luas, yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak dibawah tanggung jawab sekolah.Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan social antara guru dan murid, metode pembelajaran, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5. J. Lloyd Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya secondary school improfement (1973). Juga menganut definisi kurikulum yang luas, menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
6. Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam bukunya changing the curriculum : a social process (1946) ia mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik, dan personalia. Definisi Miel tentang kurikulum sangat luas yang mencakup yang meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita serta norma-norma melainkan juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh pegawai sekolah.
7. Edward A Krug dalam secondary school curriculum (1960) menunjukan pendirian yang terbatas tapi realities tentang kurikulum, kurikulum dilihatnya sebagai cita-cita dan usaha untuk mencapai tujuan persekolahan. Ia membedakan tugas sekolah mengenai perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dan lain-lainnya.
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai bertikut:
1) Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
2) Kurikulum yang pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
3) Kurikulum dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
4) Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara actual menjadi kenyataan pada setial siswa.
B. Program Kurikulum Pendidikan
1. Rencana Pelajaran 1947
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut.
• Berorientasi pada tujuan
– Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
– Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
– Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
– Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran
5. Kurikulum 1984
Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut.
• Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
• Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik
• Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah
• Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
• Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan Luar Sekolah.
• Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.
Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
• Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
• Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
• Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
• Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.
• Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran..
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut.
• Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
• Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)
• Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
• Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.
• Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
• Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang komplek.
• Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut.
• Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran
• Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu :
• Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
• Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
• Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
• Penyempurnaan kurikulum mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.
• Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.
Penyempurnaan kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soejadi (1994:36), khususnya dalam mata pelajaran matematika mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan kemampuan murid serta tuntutan lingkungan.
Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagai sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Kurikukum yang dikembangkan saat ini diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut.
(1) Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
(2) Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
(3) Kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
(4) Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
• pemilihan kompetensi yang sesuai;
• spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi;
• pengembangan sistem pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
• Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
• Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
• Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
• Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Struktur kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi (kemampuan) dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa. Mari kita lihat contohnya dalam mata pelajaran matematika, Kompetensi dasar matematika merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu aspek atau subaspek mata pelajaran matematika. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika merupakan gambaran kompetensi yang seharusnya dipahami, diketahui, dan dilakukan siswa sebagai hasil pembelajaran mata pelajaran matematika. Kompetensi dasar tersebut dirumuskan untuk mencapai keterampilan (kecakapan) matematika yang mencakup kemampuan penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika.
Struktur kompetensi dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”. Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?”. Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
(1)Standar Isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
• Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
• Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
• Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
• Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
• Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.

Sumber: Dari berbagai sumber.

MODEL-MODEL KURIKULUM

1. MODEL ADMISTRATIF Smith, Stanley, Shores
Model admistratif pengembangan kurikulum menggunakan prosedur atas-bawah, lini staf (Topdown, line-staff procedure). Inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat tingkat atas (Superintendent). Pejabat tersebut membuat keputusan tentang kebutuhan suatu program pengembangan kurikulum dan implementasinya, lalu mengadakan pertemuan dengan staf lini (bawahannya) dan meminta dukungan dari dewan pendidikan (Board of education). Langkah berikutnya adalah membentuk suatu panitia pengarah yang terdiri dari pejabat administratif tingkat atas, seperti asisten superintendent, principals, supervisor, dan guru-guru inti. Panitia pengarah merumuskan rencana umum, mengembangkan panduan kerja, dan menyiapkan rumusan filsafat dan tujuan bagi seluruh sekolah didaerahnya (District). Disamping itu, panitia pengarah dapat mengikutsertakan organisasi diluar sekolah / tokoh masyarakat sebagai panitia penasehat yang bekerja bersama dengan personel sekolah dalam rangka merumuskan berbagai rencana, petunjuk dan tujuan yang hendak dicapai.
Setelah kebijakkan kurikulum dikembangkan, maka panitia pengarah memilih dan menugaskan stafpengajar sebagai panitia pelaksana (panitia kerja) yang bertanggung jawab mengkonstruksikan kurikulum. Panitia im merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum, isi (materi), kegiatan-kegiatan belajar dan sebagainya sesuai dengan pedoman / acuan kebijakan yang telah ditentukan oleh panitia pengarah. Panitia mengerjakan tugasnya diluar jam kerja biasa dan tidak mendapat kompensasi. Kondisi ini diterapkan karena berkaitan dengan tanggung jawab guru untuk memahami dengan benar kurikulum dan meningkatkan mutu kurikulum itu sendiri.
Setelah panitia kerja (guru-guru) melaksanakan penyusunan kurikulum melalui proses tertentu, selanjutnya kurikulum yang dihasilkan tersebut direvisi oleh panitia pengarah atau panitia tingkat atas lainnya sesuai dengan maksud diadakannya review tersebut. Panitia ini melaksanakan berbagai fungsi-fungsi, sebagai berikut:
1)Memberi koherensi pada ruang lingkup dan urutan dalam program bidang studi dengan koordinasi bersama panitia guru-guru masing-masing bidang;

2)Memeriksa kesesuaiannya dengan kebijakan kurikulum yang telah ditetapkan oleh panitia pengarah;

3)Menyiapkan gaya dan bentuk susunan material yang siap untuk dipublikasikan

Rencana kurikulum yang sudah direvisi dan final tersebut selanjutnya ditugaskan kepada suatu panitia yang terdiri dari para admimstrator (principals) dan guru-guru untuk melaksanakannya dalam rangka uji coba. Para pelaksana adalah tenaga profesional yang tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum (mencakup filsafat rasional, tujuan dan metodologinya) uji coba dilaksanakan dalam kondisi pengajaran senyatanya dan keefektifannya dimonitor dengan cara kunjungan kelas, diskusi, evaluasi siswa dan alat-alat lainnya. Berdasarkan hasil uji coba dilakukan modifikasi, dan selanjutnya kurikulum baru tersebut diresmikan pelaksanaanya secara nyata dalam sistem sekolah.
Kelemahan model ini terdapat pada tiga hal, yakni :
1.Pada prinsipnya pengembangan kurikulum dengan model ini bersifat tidak demokratis, Karena prakarsa, inisiatif dan arahan dilakukan melalui garis staf hirarkis dari atas ke bawah, bukan berdasarkan kebutuhan dan aspirasi dari bawah ke atas.

2.Pengalaman menunjukkan bahwa model ini bukan alat yang efektif dalam perubahan kurikulum secara signifikan, karena perubahan kurikulum tidak mengacu pada perubahan masyarakat, melainkan semata-mata melalui manipulasi organisasi dengan pembentukkan macam-macam kepanitian.

3.Kelemahan utama dari model administratif adalah diterapkannya konsep dua fase, yakni konsep yang mengubah kurikulum lama menjadi kurikulum baru secara uniform melalui sistem sekolah dalam dua fase sendiri-sendiri, yakni penyiapan dokumen kurikulum baru, dan fase pelaksanaan dokumen kurikulum tersebut.

2. MODEL GRASS ROOTS Smith, Stanley, Shores
Model Grass Roots (Akar Rumput) atau arus bawah, berbeda dengan model administratif dalam beberapa hal yang berarti. Misalnya model Grass Roots diawali oleh para guru, pembina di sekolah dengan mengabaikan metoda pembuatan keputusan kelompok secara demokratis dan di mulai dari bagian-bagian yang lemah (rusak) kemudian diarahkan untuk memperbaiki kurikulum tertentu (spesifik) atau kelas-kelas tertentu.
Orientasi yang demokratis dari rekayasa Model Grass Roots bertanggung jawab membangkitkan apa yang menjadi dua aksioma kemantapan sebuah kurikulum :
1.Bahwa sebuah kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila guru-guru dilibatkan secara intim dengan proses pembuatan (konstruksi) dan pengembangannya.
2.Bukan hanya para professional, tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan dalam proses pengembangan kurikulum.
Prinsip Prinsip Model Grass Roots
Guru adalah sebagai kunci dalam rekayasa kurikulum yang efektif, digambarkan pada 4 prinsip yang menjadi dasar Model Grass Roots, yaitu :
1.Kurikulum akan baik apabila kemampuan profesioanl guru baik
2.Kompetensi guru akan membaik apabila guru terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah peibaikan (revisi) kurikulum
3.Jika guru urun rembug dalam membentuk tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam memilih, mendefinisikan, memecahkan masalah yang akan dihadapi, mempertimbangkan dan menilai hasil maka keterlibataimya paling terjamin.
4.Karena orang bertemu dalam kelompok, tatap muka, mereka akan dapat memahami satu sama lain lebih baik dan untuk mencapai suatu konsensus berdasarkan prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan dan rencana-rencana.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, para administrator cukup memberikan bimbingan dan dorongan saja, sehingga guru-guru dapat melaksanakan tugas pengembangan kurikulumnya secara demokratis. Biasanya pada langkah-langkah tertentu diselenggarakan lokakarya untuk membahas langkah-langkah yang telah berhasil dicapai dan menyiapkan program selanjutnya. Dalam lokakarya ini, selain guru-guru, ada juga kepala sekolah, orang tua siswa, tokoh masyarakat, konsultan, dan sumber-sumber lainnya.

Model Grass Roots

3.MODEL DEMONSTRASI Smith, Stanley, Shores
Model ini dikembangkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kurikulum dalam skala kecil. Dalam pelaksanaannya, model ini menuntut sejumlah guru dalam satu sekolah untuk mengorganisasikan dirinya dalam pembaharui kurikulum. Menurut Smith, Stanley dan Shores, model demonstrasi terdiri atas dua bentuk, yaitu :
a.Dalam bentuk pertama yang cendrung bersifat formal, sekelompok guru diorganisasikan dalam suatu sekolah secara terpisah. Tugas mereka adalah mengembangkan proyek percobaan kurikulum. Tujuannya sama seperti tim penelitian dan pengembangan secara internal, yaitu untuk menghasilkan segmen baru dalam kurikulum sekolah. Dalam bentuk pertama ini, inisiatif dan organisasi kurikulum berasal dari atas sehingga model ini dianggap sebagai representasi variasi model administrasi.
b.Dalam bentuk kedua dianggap kurang formal dibandingkan dengan bentuk pertama karena guru-guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada membuat eksperimen d dalam area tertentu. Mereka bekerja dalam bentuk organisasi tak terstruktur atau bekerja sendiri – sendiri. Tujuaan untuk menghasilkan alternative praktik kurikulum. Jika eksperimen berhasil, maka diusulkan untuk diadopsi penggunaannya di seluruh sekolah.
Dengan demikian, model demonstrasi dapat dilaksanakan baik secara formal amupun tidak formal. Keuntungan model demonstrasi antara lain :
1.Disebabkan kurikulum yang dihasilkan telah melalui ujicoba dalam praktik yang nyata, maka dapat memberikan alternative yang dapat bekerja.
2.Perubahan kurikulum pada bagian tertentu cendrung lebih mudah disepakati dan diterima daripada perubahan secara keseluruhan.
3.Mudah untuk mengatasi hambatan
4.Menempatkan guru sebagai pengambil insiatif dan nara sumber sehingga para administrator dapat mengarahkan minat dan kebutuhan guru untuk mengembangkan program-program baru. Guru-guru yang tidak terlibat di dalam proses pengembangan cendrung bersikap apatis, curiga, tidak percaya, dan cemburu. Akibatnya mereka akan menerima kurikulum baru itu dengan setengah hati.

Model Demonstrasi

4.MODEL BEAUCHAMP
Model pengembangan kurikulum ini sesuai dengan nama orang yang menciptakannya yaitu seorang ahli kurikulum yang benama Beauchamp. Menurut Beauchamp untuk merancang sebuah kurikulum harus ditempuh lima langkah berikut:
1.Pejabat pemerintah yang berwenang dalam pengembangan kurikulum harus menentukan lebih dahulu lokasi atau wilayah yang akan dijadikan pilot proyek untuk pengembangan kurikulum. Pemilahan lokasi atau wilayah yang ditentukan sesuai dengan skala pengembangan kurikulum yang telah direncanakan. Bila kurikulum yang ingin dikembangkan berskala makro atau nasional, maka wilayah atau lokasi yang akan dijadikan pilot proyek adalah propinsi, seandainya bersifat daerah atau berskala mikro maka kabupaten dapat dijadikan lokasi pilot proyek.
2.Setelah wilayah atau lokasi yang akan menjadi pilot proyek sudah ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah menentukan personalia yang akan ikut terlibat di dalam pengembangan kurikulum. Beauchamp melibatkan orang-orang dari staf ahli kurikulum, pakar kurikulum dari perguruan tinggi dan guru-guru sekolah yang telah dipilih, pakar pendidikan, masyarakat yang dihimpun dari berbagai kalangan yaitu dari pengarang atau penulis, penerbit, politikus, pejabat pemerintah, pengusaha dan industriawan
3.Bila personalia sudah disusun dengan baik maka langkah berikutnya adalah pengorganisasian person-person tersebut dalam lima (5) tim yang terdiri dari :
1. Tim pengembang kurikulum
2. Tim peneliti kurikulum yang sedang dipakai atau sedang dipergunakan
3. Tim untuk mempelajari kemungkinan penyusunan kurikulum bam
4. Tim perumus untuk kriteria-kriteria kurikulum yang akan disusun.
5. Tim penyusun dan penulis kurikulum baru
Sedangkan prosedur kerja yang akan dilalui adalah sebagai berikut :
a. Merumuskan tujuan baik tujuan umum maupun tujuan khusus
b. Memilih atau menseleksi materi
c. Menentukan pengalaman belajar
d. Menentukan kegiatan dan evaluasi
e. Menentukan desain
4. Pada langkah ini ditentukan implementasi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum mempakan pekerjaan yng cukup rumit karena membutuhkan kesiapan dalam banyak hal, seperti guru sebagai pelaksana kurikulum dikelas, fasilitas, siswa, dana, manajerial pimpinan sekolah atau administrator sekolah.
5. Setelah semua kebutuhan untuk kepentingan pelaksanaan atau implementasi terpenuhi dan sudah dapat dilaksanakan, maka langkah berikutnya yang merupakan langkah terakhir dari pengembangan kurikulum model beauchamp adalah mengevaluasi kurikulum.
Beauchamp mengemukakan hal-hal yang harus dievaluasi, yaitu :
a. Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum oleh guru
b. Evaluasi terhadap desain kurikulum
c. Evaluasi terhadap hasil belajar siswa
d. Evaluasi terhadap sistem dalam kurikulum
Hasil dari kegiatan evalusi ini akan dijadikan untuk penyempumaan desain sistem serta prinsip-prinsip pelaksanaannya. Suatu hal yang perlu diingat bahwa pada tahap atau langkah kedua berupa organisasi dan prosedur Beauchamp, tampaknya menerangkan keterlibatan kelompok-kelompok personalia sehingga timbul pertanyaan-pertanyan sebagai berikut :
Haruskah kelompok ahli, pejabat, profesi yang telah disebutkan diatas dilibatkan dalam pengembangan kurikulum? Apabila jawaban dari pertanyaan tersebut ya, maka apa saja peranan mereka itu? Apakah mungkin didapatkan alat dan teknik yang paling efektif untuk melakukan peran tersebut? dengan demikian tergambar bahwa sebaiknya wilayah atau lokasi pilot proyek diambil dari wilayah kecil saja, dan semakin kecil wilayah maka keterlibatan dan peranan guru akan semakin besar. Guru harus berperan secara ikhlas dengan menunjukaan sikap dan rasa saling, menghormati dalam memberikan pelajaran dan diluarjam pelajaran.

Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp

5.MODEL TRANSMISI GAGNE dan BRIGGS
Gagne and Briggs menggambarkan suatu model pengembangan kurikulum berdasarkan tekhnologi pendidikan. Model transmisi yang dikembangkan dilandasi oleh konsep-konsep sebagai berikut :
1.Menekankan perbedaan individual. Hal ini terlihat pada program pembelajaran yang menggunakan selft-instructional, program Branching, dan konsep Product testing yang menggunakan hardware.
2.Menekankan pada psikologi perkembangan, berkaitan dengan prilaku siswa dan teori belajar yang ditekankan pada hubungan penguatan dengan mesin pengajaran.
3.Menekankan pada penggunaan media, berupa media ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang bersifat fisik dan non fisik.
Gagne menganjurkan pendekatan system untuk merancang desain pengajaran berdasarkan alur berfikir logis, sistematik, empiris, dan selalu mengedepankan data/fakta. Terdapat 12 langkah pengembangan model kurikulum yaitu : analisis kebutuhan, analisis tujuan, analisis cara memenuhi kebutuhan, merancang komponen pengajaran, analisis sumber belajar dan pengontrolan, menyeleksi atau mengembangkan instrument prilaku siswa, uji lapangan dan evaluasi formatif, revisi, evaluasi sumatif dan instalasi operasional.

6.MODEL TYLER
Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles of Cumculum and Intruducion, Tyler merumuskan empat pertanyaan sentral yang meminta jawaban secara rasional bagi perencanaan kurikulum ialah :
1. Apa tujuan yang harus dicapai oleh sekolah?
2. Apa pengalaman-pengalaman belajar yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut?
3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman-pengalaman tersebut?
4. Bagaiman kita dapat memutuskan apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan, bahwa perencanaan kurikulum dapat menjadi suatu proses yang dikontrol dan logis, dimana langkah pertama adalah yang paling penting. Kerangka kerja ini besar pengaruhnya di USA, karena keputusan-keputusan utama mengenai isi kurikulum dibuat oleh dewan pendidikan setempat (lokal). Dengan kerangka kerja ini, publik dapat menilai pekerjaan sekolah dengan membandingkan antara tujuan-tujuan dengan hasil yang dicapai.

Pengembangan kurikulum model Tyler ini mungkin yang terbaik, dengan penekanan khusus pada fase perencanaan. Walaupun Tyler mengajukan model pengembangan kurikulum secara komprehensif tetapi bagian pertama dari modelnya (seleksi tujuan) menerima sambutan yang hangat dari para edukator.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum:
Langkah l :
Tyler merekomendasikan, bahwa perencana kurikulum agar mengidentifikasikan tujuan umum (tentative general objectives) dengan mengumpulkan data dari tiga sumber, yaitu : kebutuhan peserta didik, masyarakat (fungsi yang diperlukan) dan subject matter.
Langkah 2:
Setelah mengidentifikasi beberapa buah tujuan umum, perencana merifinenya dengan cara menyaring melalui dua saringan, yaitu filosofi pendidikan dan psikologi belajar. Hasilnya akan menjadi Tujuan pembelajaran khusus dan meyebutkannya juga pendidikan sekolah dan filosofi masyarakat sebagai saringan pertama untuk tujuan ini. Selanjutnya perlu disusun garis-garis besar nilai-nilai yang didapat dan mengilustrasikannya dengan memberi tekanan pada empat tujuan demokratis. Untuk melaksanakan penyaringan, para pendidik harus menjelaskan prinsip-prinsip belajar yang baik, dan psikologi belajar memberikan ide mengenai jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan waktu untuk melaksanakan kegiatan secara efesien. Tyler pun menyarankan agar pendidik memberi perhatian kepada cara belajar yang dapat :
• Mengembangkan kemampuan berpikir
• Menolong dalam memperoleh informasi
• Mengembangkan sikap masyarakat
• Mengembangkan minat
• Mengembangkan sikap kemasyarakatan
Langkah 3:
Menyeleksi pengalaman belajar yang menunjang pencapaian tujuan. Penentuan pengalaman belajar harus mempertimbangkan persepsi dan pengalaman yang telah dimililiki oleh peserta didik.
Langkah 4:
Mengorganisasikan pengalaman kedalam unit-unit dan menggambarkan berbagai prosedur evaluasi.
Langkah 5:
Mengarahkan dan mengurutkan pengalaman-pengalaman belajar dan mengkaitkannya dengan evaluasi terhadap keefektifan perencanaan dan pelaksanaan.
Langkah 6:
Evaluasi pengalaman belajar. Evaluasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kurikulum.
Sehubungan dengan hal tersebut Tyler (1949) memperingatkan agar dibedakan antara konten (isi) pelajaran atau kegiatan-kegiatan belajar dengan pengalaman-pengalaman belajar, karena pengalaman belajar merupakan pengalaman yang diperoleh dan dialami anak-anak didik sebagai hasil belajar dan interaksi mereka dengan konten (isi) dan kegiatan belajar. Untuk mengembangkan pengalaman belajar yang mereka peroleh harus bermuara pada pemberian pengalaman para pelajar yang dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan benar. Dari beberapa konsepsi kurikulum diatas kelihatan bahwa kurikulum dapat dilihat dari segi yang sempit atau dari segi yang luas (sebagai pengalaman yang diperoleh di sekolah atau diluar sekolah).

Model Tyler

7.MODEL MILLER – SELLER
Model kurikulum ini termasuk model kurikulum yang paling klasik dan mendasari model-model yang lain. Dalam bukunya yang mahsyur yaitu; basic principles of Curriculum and Instruction. Tyler merekomendasikan bahwa perencana kurikulum untuk mengindetifikasi tujuan umum dengan mengumpulkan data dari tiga sumber : siswa, kehidupan kontemporer di luar sekolah, dan mata pelajaran. Setelah mengindetifikasi beberapa tujuan umum, perencana kurikulum mengisi dengan memilah menjadi dua aliran utama; pendidikan dan filsafat pendidikan bagi sekolah dan psikologi pembelajaran. Tujuan umum dengan meningkatkan menjadi tujuan instruksional khusus. Dalam menggambarkan tujuan umum, Tyler merujuknya sebagai tujuan, tujuan pendidikan jangka menengah dan tujuan pendidikan jangka panjang. Tyler merumuskan empat pertanyaan sentral yang meminta jawaban secara rasional bagi perencanaan kurikulum ialah :
1. Apa tujuan yang harus dicapai oleh sekolah ?
2. Apa pengalaman-pengalaman belajar yang dapat disediakan untuk mencapai tujuantujuan tersebut
3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman-pengalaman tersebut
4. Bagaimana kita dapat memutuskan apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai .
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan, bahwa perencanaan kurikulum dapat menjadi suatu proses yang dikontrol dan logis, dimana langkah pertama adalah yang paling penting. Kerangka kerja ini besar pengaruhnya di USA, karena keputusan-keputusan utama mengenai isi kurikulum dibuat oleh dewan pendidikan setempat(lokal). Dengan kerangka kerja ini, publik dapat menilai pekerjaan sekolah dengan membandingkan antara tujuan – tujuan dengan hasil yang dicapai. Pengembangan kurikulum model Tyler ini mungkin yang terbaik, dengan penekanan khusus pada fase perencanaan. Walaupun Tyler mengajukan model pengembangan kurikulum secara komprehensif tetapi bagian pertama dari modelnya(seleksi tujuan) menerima sambutan yang hangat dari pada pendidikan.
Langkah – langkah Pengembangan Kurikulum :
1. Tyler merekomendasikan, bahwa perencana kurikulum agar menindetifikan tujuan umum( tentative general objectives ) dengan mengumpulkan data dari tiga sumber, yaitu : kebutuhan peserta didik, masyarakat ( fungsi yang diperlukan), dan subject matter.
2. Setelah mengidentifikasikan beberapa buah tujuan umum, perencana merifinenya dengan cara menyaring melalui dua saringan, yaitu filosofi pendidikan dan psikologi belajar. Hasilnya akan menjadi tujuan pembelajaran khusus dan menyebutkan juga pendidikan sekolah dan filosofi masyarakat sebagi saringan pertama untuk tujuan ini.
Selanjutnya perlu disusun garis-garis besar nilai-nilai yang didapat dan mengilustrasikan dengan memberi teknan pada empat tujuan demokratis. Untuk melaksanakan penyaringan, para peserta didik harus menjelaskan prinsip-prinsip belajar yang baik, dan psikologi belajar membeirkan ide melaksanakan kegiatan secara efisien. Tyler pun menyarankan agar pendidikan memberi perhatian kepada cara belajar yang dapat :
• Mengembangkan kemampuan belajar
• Menolong dalam memperoleh informasi
• Mengembangkan sikap masyarakat
• Mengembangkan minat
•Mengembangkan sikap kemasyarakatan
3. menyelaksi pengalaman belajar yang menunjang pencapaian tujuan. Penentuan pengalaman belajar harus mempertibangkan persepsi dan pengalaman yang telah dimiliki olehpesertadidik.
4. Mengorganisasikan pengalaman belajar ke dalam unit-unit dan menggambarkan barbagai prosedur evaluasi.
5. Mengarahkan dan mengurutkan pengalaman-pengalaman belajar dan mengaitkan dengan evaluasi terhadap keefektifitan perencanaan dan pelaksanaan.
6. Evaluasi pengalaman belajar. Evaluasi merupakan komponen penting dalam pengembangankurikulum.
Sehubungan dengan hal tersebut Tyler (1949) memperingatkan agar dibedakan antara konten ( isi) pelajaran atau kegiatan-kegiatan belajar dengan pengalaman belajar, karena pengalaman belajar merupakan pengalaman yang diperoleh dan dialami anak-anak didik sebagai hasil belajar dan interaksi mereka dengan konten(isi) dan kegiatan belajar. Untuk mengembangkan pengalaman belajar yang mereka peroleh harus bermuara pada pemberian pengalaman para belajar yang dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan benar. Dari beberapa konsepsi kurikulum diatas kelihatan bahwa kurikulum dapat dilihat dari segi yang sempit atau dari segi yang luas ( sebagai pengalaman yang diperoleh di sekolah atau diluar sekolah ).

8.MODEL OLIVIA
Menurut Oliva dalam membuat rencana tentang perkembangan kurikulum terbagi menjadi tiga kriteria; sederhana, komprehensif, systematik .Meskipun model ini menggambarkan beberapa proses yang berasumsi pada model sederhana.model-model ini terdiri dari 12 komponen.Kedua belas komponen menggambarkan langkah demi langkah pengembangan kurikulum yang komprehensif. Model tersebut digambarkan dalam bentuk segi empat dan lingkaran. Segi empat menggambarkan tentang proses perencanaan sedangkan lingkaran menggambarkan proses operasional.
Proses dimulai dengan komponen I, karena pada fase ini para pengembang kurikulum menentukan tujuan dari pendidikan serta landasan filosophy dan psikologi.Tujuan ini diyakini berasal dari kebutuhan masyarakaty dan kebutuhan hidup individu dimasyarakat. Komponen ini menggabungkan konsep yang sama dengan Tyler.
Komponen II membutuhkan sebuah analisis kebutuhan masyarakat dimana suatu sekolah berada, kebutuhan siswa dilayani oleh masyarakat. Komponen III dan IV disebut sebagai tujuan khusus kurikulum berdasarkan tujuan, keyakinan. Tugas dari komponen V adalah untuk mengorganisir dan mengimplementasikan kurikulum, membentuk dan membangun struktur dengan kurikulum yang akan diorganisir.
Pada komponen VI dan VII melukiskan perincian lebih lanjut dalam pelaksanaan lewat pengajaran yang mencakup tujuan instruksional umum dan khusus. Komponen VIII menunjukkuan strategi agar tujuan tercapai dikelas. Sekaligus dalam fase ini pembina kurikulum secara pendahuluan mencari teknik evaluasi (komponen IX) yang dilanjutkan dengan komponen X dimana pembelajaran dilaksanakan. KomponenXI adalah evaluasi sesungguhnya mengenai prestasi siswa, keefektifan pengajaran.
Komponen XII merupakan evaluasi kurikulum atau keseluruhan program.hal terpenting adalah umpan balik dari setiap evaluasi untuk pengembangan lebih lanjut.Jadi inti dari semua komponen adalah komponen I sampai IV dan VI sampai IX adalah tahap perencanaan, sementara X-XII adalah tahap operasional. Komponen V merupakan perpaduan antara perencanaan dan operasional. Model Oliva dapat dipandang terdiri dari dua submodel:komponen I-V dan XII sebagai submodel pengembangan kurikulum.Komponen VI-XI sebagai model pengembangan pengajaran.
Secara terperinci model tersebut mengikuti langkah-langkah berikut :
1. Spesifikasi kebutuhan siswa umumnya
2. Spesifikasi kebutuhan masyarakat
3. Pernyataan filsafat dan tujuan pendidikan
4. Spesifikasi kebutuahn siswa tertentu
5. Spesifikasi kebutuhan masyarakat lingkungan sekolah
6. Spesifikasi kebutuhan mata pelajaran
7. Spesifikasi tujuan kurikulum sekolah
8. Spesifikasi tujuan kurikulum sekolah lebih lanjut(lebih khusus)
9. Organisasi dan implementasi kurikulum
10. Spesifikasi tujuan instruksional umum
11. Spesifikasi lebih lanjut dan khusus tujuan instruksional
12. Seleksi strategi instruksional
13. Seleksi awal strategi evaluasi
14. Implementasi pengajaran/instruksional
15. Seleksi akhir strategi evaluasi
16. Evaluasi pengajaran dan modifikasi komponen-komponennya
17. Evaluasi kurikulum dan modifikasi komponen-komponen kurikulum

9.MODEL RELATION INTERPERSONAL ROGERS

Model ini berasal dari seorang psikolog Carl Rogers. Dia berasumsi bahwa kurikulum diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes dan adaptif, terhadap situasi perubahan. Kurikulum demikian hanya dapat disusun dan diterapkan hanya oleh pendidik yang terbuka, luwes, dan berorientasi pada proses. Untuk itu diperlukan pengalaman kelompok dalam melatih hal-hal yang bersifat sensitif. Setiap kelompok terdiri atas 10 – 15 orang dengan seorang fasilitator atau pemimpin. Kelompok tersebut hendaknya tidak berstruktur, tetapi harus menyediakan lingkungan yang memungkinkan seseorang dapat berekspresi secara bebas dan ada pula kemungkinan berkomunikasi interpersonal secara luas.
Langkah – langkah dalam model ini adalah :
1.Memilih suatu sasaran administrator dalam system pendidikan dengan syarat bahwa individu yang terlibat hendaknya ikut aktif berpartisipasi dalam kegiatan kelompok secara intensif agar mereka dapat berkenalan secara akrab.
2.Mengikutsertakan guru-guru dalam pengalaman kelompok secara intensif.
3.Mengikutsertakan unit kelas dalam pertemuan lima hari. Pertemuan ini diharapkan menghasilkan pertemuan intensif antara guru dengan peserta didik lainnya secara akrab dalam suasana bebas berekspresi.
4.Menyelenggarakan pertemuan secara interpersonal antara administrator, guru dan orang tua peserta didik. Tujuan utamanya adalah agar orang tua, guru dan kepala sekolah bias saling mengenal secara pribadi sehingga memudahkan pemecahan masalah di sekolah.
5.Pertemuan vertical yang mendobrak hirarki, birokrasi, dan status social. Melalui cara ini diharapkan keputusan-keputusan dalam pengembangan kurikulum akan lebih baik mendekati realitas karena diselenggarakan dalam suasana bebas tanpa tekanan.

Model Interpersonal Relation Rogers

10.MODEL PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Tiga factor utama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini adalah adanya hubungan antar manusia, organisasi sekolah dan masyarakat, serta otoritas ilmu.
Langkah – langkah yang dijadikan bahan pertimbangn dalam model ini adalah :
a. Merasakan adanya suatu masalah dalam kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara mendalam.
b. Mengidentifikasi factor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
c. Merencanakan secara mendalam tentang bagaimana pemecahan masalah.
d. Menentukan keputusan-keputusan apakah yang perlu diambil sehubungan dengan masalah tersebut.
e. Melaksanakan keputusan yang telah diambil dan menjalankan rencana yang telah disusun.
f. Mencari fakta secara meluas
g. Menilai tentang kekuatan dan kelemahannya

11.MODEL SUMBER UNIT- HAROLD ALBERTY

Harold B Alberty menganjurkan langkah dalam pengembangan suatu unit sumber:
1. Falsafah dan tujuan
2. Scope
Berisi konsep, prinsip atau masalah serta batasan unit, harus cukup luas dan meliputi semua aspek masalah sebagai hasil analisis pokok atau judul unit sumber.
1. Kegiatan belajar
Di bagian ini diberikan sebanyak–banyaknya saran tentang kegiatan yang dapat dilakukan oleh siswa, secara individual maupun dalam kelompok serta harus dilakukan dengan banyak ragam. Contohnya melakukan kegiatan kreatif dan konstruktif, forum dan diskusi, permainan peranan, psiko dan sosiodrama, sandiwara kelas, menggambar, melihat video atau film, mendengarkan rekaman, melakukan karyawisata, membentuk kumpulan sosial, ekonomi, dan sebagainya.
2. Bibliografi dan alat belajar
Tiap unit sumber harus berisi bahan referensi serta alat – alat belajar yang luas serta beraneka ragam dengan catatan agar sumber dan alat itu dapat digunakan efektif.
3. Evaluasi
Prosedur dan alat evaluasi dipilih berkenaan dengan tujuan yang dirumuskan dan menjadi bagian yang integral dari unit sumber.
Alat evaluasi yang dapat digunakan antara lain:
– Test
– Catatan tentang observasi kelakuan siswa
– Catatan, buku harian, hasil penilaian diri oleh siswa,
– Analisis pekerjaan dan proyek yang dilakukan siswa
– Catatan oleh guru dan staf administrasi sekolah
– Analisis pekerjaan tertulis dan lisan
– Laporan tentang observasi oleh orang tua
4. Saran–saran tentang cara menggunakan unit sumber
Unit sumber harus memuat petunjuk–petunjuk dan saran–saran tentang cara penggunaan unit itu. Namun saran–saran itu tidak boleh mengikat berupa patokan–patokan yang harus diikuti.

12.MODEL SISTEMATIK J ROMSZOWSKI

Model ini menggunakan pendekatan system ( system Approach ). Pendekatan sistemik dalam pengembangan suatu kurikulum adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan pada struktur dan keteraturan yang direncanakan sejak awal untuk menghasilkan sesuatu yang spesifik. Model sistemik ini dapat digunakan untuk mengembangkan program pendidikan kurikulum, desain pembelajaran, dan desain program pelatihan.
Prosedur pengembangan kurikulum model sistemik ini dilakukan dengan 14 langkah, yaitu : Deskripsi tugas, analisis tugas, menetapkan kemampuan, spesifikasi kemampuan, kebutuhan pendidikan dan latihan, organisasi dan isi. Pemilihan strategi pembelajaran, uji coba program, evaluasi, implementasi program, monitoring, perbaikan dan penyesuaian.
Penggunaan model ini dapat menjadi tawaran alternative dalam penyusunan kurikulum di tingakt satuan pendidikan khususnya pada Sekolah Menengah Kejuruan. Penerapan model ini akan menjadi suatu cirri khas satuan pendidikan melalui penyusunan desain KTSP sebagai kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.

13.MODEL DESAIN SISTEM INST. BELLA H BENATHY

Secara garis besar pengembangan desain intruksional meliputi enam langkah pokok yaitu: 1.Merumuskan tujuan
2.Mengembangkan test
3.Menganalisis kegiatan belajar
4.Mendesain sistem intruksioanal
5.Melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil
6.Mengadakan perbaikan

14.MODEL DESAIN SISTEM INST. JEROLD E KEMP
Model Kemp adalah sebuah pendekatan yang mengutamakan sebuah alur yang dijadikan pedoman dalam penyusunan perencanaan program. Dimana alur tersebut merupakan rangkaian yang sistematis yang menghubungkan tujuan hingga tahap evaluasi. Komponen-komponen dalam model pembelajaran Kemp ini dapat berdiri sendiri, sehingga sewaktu-waktu tiap komponennya dapat dilakukan revisi.
Adapun langkah-langkah dari pengembangan model Kemp adalah sebagai berikut:
a. Menentukan Judul dan Tujuan Pembelajaran Umum
Langkah pertama dalam mendesain program adalah menentukan judul dan tujuan pembelajaran secara umum. Karena secara tidak langsung judul akan mempengaruhi program secara keseluruhan.
a. Menganalisis Karakteristik Siswa
Kadang kala sebuah program tidak berjalan dengan baik apabila tidak sesuai dengan kebutuhan siswa. Sehingga langkah menganalisis karakteristik siswa menjadi faktor penentu dalam pengembangan program. Karakteristik siswa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan, seperti kelompok umur, pendidikan terakhir, latar belakang sosial, dan lainnya.
b. Menentukan Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah merumuskan tujuan umum dan menganalisis karakteristik siswa, maka langkah berikutnya menentukan tujuan pembelajaran secara khusus. Yang dimaksud pada langkah ini adalah perumusan yang lebih mendetail hal-hal yang sangat teknis. Dimana lebih mencakup pokok-pokok yang ingin dicapai oleh program.
c. Menentukan Materi Pembelajaran
Langkah berikutnya menentukan materi yang akan disampaikan. Materi ini bisa berupa bahan atau alat yang dapat menjabarkan isi dari program yang diinginkan.
d. Menentukan Pre Test
Pre test merupakan sebuah cara untuk mengukur sejauhmana kemampuan siswa dalam penguasaan materi yang akan diberikan. Menentukan pre test merupakan sebuah upaya untuk menjaring siswa yang sesuai dengan program.
e. Menentukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan inti dari sebuah program. Dalam penentuan KBM ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya metode pembelajaran, seting ruangan, sarana dan prasarana, dan lainya.
f. Mengkoordinasi sarana penunjang, yang meliputi tenaga fasilitas, alat, waktu dan tenaga.
g. Evaluasi
Tahap evaluasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan pada model ini, dimana secara formatif program yang dikoreksi dan diperbaiki agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

15.MODEL DESAIN SISTEM INST. BRIGGS
Pengembangan desain intruksional model Briggs ini berorientasi pada rancangan sistem dengan sasaran guru yang bekerja sebagai perancang atau desainer kegiatan intruksional maupun tim pengembang intruksional yang anggotanya meliputi guru, administrator, ahli bidang studi, ahli evaluasi, ahli media, dan perancang intruksional.
Model pengembangan intruksional Briggs ini bersandarkan pada prinsip keselarasan antara :
a) tujuan yang akan dicapai,
b) strategi untuk mencapainya
c) evaluasi keberhasilannya.
Langkah pengembangan dimaksud dirumuskan kedalam 10 langkah pengembangan yaitu :
1. Identifikasi kebutuhan/penentuan tujuan
2. Penyusunan garis besar kurikulum/rincian tujuan kebutuhan instruksional yang telah dituangkan dalam tujuan-tujuan kurikulum tersebut pengujiannya harus dirinci, disusun dan diorganisasi menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
3. Perumusan tujuan
4. Analisis tugas/tujuan
5. Penyiapan evaluasi hasil belajar
6. Menentukan jenjang belajar
7. Penentuan kegiatan belajar.
8. Pemantauan bersama
9. Evaluasi formatif
10. Evaluasi sumatif

Referensi

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/22/landasan-kurikulum/
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195705101985031-ENDANG_RUSYANI/Model_Organisasi_Pengemb_Kurikulum.pdf